Jumat, 29 April 2011

Antara Dua Jendela

Unknown
Malam Antara Dua Jendela
Original Story By Renshi

Hei, kau tahu tidak? Mata ini sudah lama menangkap bayanganmu lalu menyimpan memori diingatan yang diteruskan pada hatiku. Kau tanpa sengaja telah mengikatku pada malam itu, saat bulan bersinar dengan cerahnya. Aku tidak tahu padamu, entah darimana asalmu. Tapi aku tanpa sengaja jatuh cinta padamu pada malam berbulan purnama. Saat aku hampir terjatuh ketika membuang sampah diluar, kau yang menahanku agar tidak terjatuh. Aku jatuh cita pada lengan yang kuat itu. Aku jatuh cinta pada mata yang entah warna apa itu, aku tidak bisa jelas melihatnya. Aku jatuh cinta dengan senyumanmu, dan aku jatuh cinta pada suaramu yang berkata sepatah kalimat, ‘kau tidak apa-apa?’
Kau bukan tetanggaku, aku tahu itu karena tak pernah aku melihat sosokmu di sekitar sini sebelumnya. Aku tebak kau adalah teman atau apalah yang berhubungan dengan orang yang tinggal di sebelah rumahku. Untung sekali jendela kamarku bisa menembus melihat jendela rumah seberang, kurasa itu ruang tamu. Aku selalu memandangmu dari sini, dari meja belajarku yang menghadap jendela - it is very lucky - dan membuatku bisa curi pandang ke arahmu.
Malam ini bulan sudah memasuki fase cembung. Pukul tujuh lima belas kau selalu datang ke rumah tetanggaku. Akhir-akhir ini kau memang sering mendatanginya, tapi itu hal yang bagus untukku.
Aku duduk di meja belajarku, membuka buku matematika untuk me-review yang sudah diberikan guruku sambil sesekali melirik ke arahmu. Seperti biasa, gorden jendelanya dibiarkan terbuka membiarkan cahaya lampu membiaskan sosokmu pada mataku. Kulihat kau tertawa, sesekali mengambil camilan yang disediakan olehnya. Kali ini kulihat rambutmu lebih rapi dari sebelumnya. Senyummu yang menampilkan deretan gigi putihmu menambah indah bentuk bentuk tulang pipi di wajahmu. Kau tahu, sosokmu yang berada di seberang sana membuatku tidak bisa konsentrasi pada matematika yang kupelajari.
Jam sepuluh malam, kau mulai beranjak dari tempat dudukmu kemudian merapikan kemeja motif kotak coklat yang kau kenakan. Ini saatnya kau pulang dan saatnya aku untuk kembali membuang sampah di depan rumah yang akan dibawa pengangkut sampah besok dini hari. Aku bergegas keluar, kau juga sudah berada di halaman lelaki seumuranmu itu kemudian berjalan keluar. Kau melangkah melewati pagar pembatas dan kurasa kau menyadari keberadaanku yang sekitar satu meter darimu. Kau tersenyum padaku. Meski bulan tidak bersinar dengan sempurna, tapi aku bisa melihat kesempurnaan senyummu itu.
“Hai, malam,” kau menyapaku lalu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari mulutku.
Ya, ya, keputusanmu tepat untuk beranjak pergi tanpa menunggu jawabanku itu karena aku terlalu sibuk untuk terkejut hingga tak bisa membalas ucapan selamat malam itu. Senyummu malam ini hanya untukku saja. Kau tidak akan tahu seberapa bahagianya aku saat ini.
******
Malam ini kau lebih lambat dari biasanya. Pakaianmu juga tidak serapi biasanya. Malam ini kau mengenakan kaos lengan pendek yang menampilkan lekuk tubuhmu yang bidang. Kurasa salah satu hobimu adala fitness, kelihatan dari bentuk perutmu yang bidang tanpa kelebihan lemak. Kau tertawa namun dengan perasaan bersalah sembari menangkupkan kedua tanganmu pada lelaki tetanggaku. Entah apa yang membuatmu terlambat dan meminta maaf seperti itu.
Ah, aku baru ingat. Bukan saatnya untuk terus memandangimu di seberang sana. Besok guru fisika akan memberiku tes. Dan malam ini aku harus betul-betul belajar karena fisika adalah satu pelajaran yang sulit kucerna. Terkutuklah yang menciptakan fisika di dunia ini. Dan jika nilaiku jelek besok, aku akan menyalahkanmu, hei lelaki tak dikenal.
Benar-benar. Meski di depanku sudah berserakan buku fisika, mataku tak bisa berhenti mencuri waktu untuk memandangmu. Aku senang melihat ekspresi wajahmu yang bermacam-macam. Jijik, tertawa, bingung, bahkan tanpa ekspresi sama sekali. Tapi aku paling suka saat kau tersenyum. Jika aku punya kamera canggih yang tak akan menimbulkan flash, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengabdikan momen itu. Sayang sekali aku tidak punya kamera secanggih itu. Lagipula jarak jendela kamarku dengan jendela ruang tamu seberang sekitar sepuluh meter.
“Ellen ! apa-apaan kau belajar sambil membuka gorden jendela seperti itu,” sebuah suara mengusik ketenanganku. Dia adik laki-lakiku yang menyebalkan, selalu memanggilku hanya dengan nama tanpa menambahkan ‘kakak’ di depannya.
“It’s up to me. What do you want?”
“Ingin pinjam penggarismu.”
“Ambil dan cepat keluar dari sini.”
Ia mendatangi mejaku dan merogoh isi dalam kotak pensilku. Di saat itu mataku kembali menatapmu di seberang sana. Wajahmu begitu serius, tapi kurasa juga sedikit tersipu malu. Jika ada cermin di sana, kau akan melihat bagaimana lucunya ekspresi itu hingga aku tidak bisa menahan tawa kecilku. Kurasa adikku menyadari hal itu lalu menelusuri arah pandanganku kemudian menemukan sosokmu juga. Sebuah senyum penuh arti ia sunggingkan lalu melirikku seakan baru saja menemukan sesuatu yang menarik.
“Oh, jadi itu alasanmu kenapa kau belajar dengan gorden terbuka.”
“Sudah sana pergi, dasar bodoh!” kuusir ia dan kuharap wajahku tidak memerah.
“Kau sudah dewasa ya, Ellen.”
“Shut up and go out!!”
Aku menghela napas lega dan duduk kembali setelah dengan paksa mendorong adik bodoh itu keluar kamar. Sekali lagi aku melirik ke seberang dan sosokmu masih ada di sana, duduk dengan santai lalu berbincang-bincang. Yak, cukup. Aku harus menutup gorden untuk malam ini. Aku harus belajar fisika dan jika nilaiku rendah itu gara-gara kamu ! (maaf jika kau jadi pelampiasan nilai fisikaku)
______________________________________________________________________________
Aku kembali datang ke rumah Nick tanpa alasan. Oke, mungkin bukan tanpa alasan. Aku jadi sering datang ke rumahnya karena kau. Kau tidak akan pernah tahu kalau aku jatuh cinta padamu pada malam bulan purnama itu, saat tanpa sengaja aku menolongmu yang hampir terjatuh. Rambutmu yang coklat tergerai dan menyentuh tanganku terasa begitu lembut saat itu. Matamu yang (kurasa) biru, membuatku benar-benar tertarik. Dan aku terjerat oleh wajahmu dengan dagu terbelah dua. Kau benar-benar cantik di mataku meski saat itu pada malam hari.
Hari ini juga, aku melihatmu berkutat pada bukumu. Kacamata berbingkai merah dengan bentuk kotak bertengger di hidungmu. Untung sekali kau tidak menutup gordenmu saat belajar karena aku bisa kadang-kadang menatap ke arahmu. Asal kau tahu, Nick marah-marah padaku karena aku memintanya dengan paksa agar jendela yang mengarah ke kamarmu itu dibiarkan terbuka. Aku tidak keberatan mendapat cercaan Nick asal bisa melihatmu.
“Kau ini. Tujuanmu datang ke sini memangnya apa, hah? Kau tahu, kau merepotkanku,” entah sudah berapa kali aku mendengar kalimat itu dari mulutnya. Aku terpaksa memberinya sebuah cengiran meminta maaf.
“Maaf. Tetanggamu benar-benar membuatku gila.”
“Kenapa kau nggak langsung datang ke rumahnya?” ia berkata ketus.
“Nggak mungkin! Ia tidak mengenalku.”
Dalam satu detik itu aku kembali melirik ke kamarmu, tapi kau tetap tak lepas menatap buku yang ada di hadapanmu. Apa kau itu benar-benar gila belajar? Kadang aku kesal melihatmu yang sepertinya tak peduli apa pun. Hei, lihatlah ke sini sekali saja, rasanya ingin aku bilang itu padamu tapi tidak apalah. Aku jadi bisa puas melihat gerak-gerikmu. Kau kadang mengerutkan alis, sepertinya kau kesulitan menemukan jawaban yang baik untuk soal di depanmu. Kadang kau menggigit pensilmu dengan gemas karena mungkin penasaran dengan jawaban yang benar. Dan kadang wajahmu tersenyum penuh kemenangan. Kau tidak akan tahu seberapa menariknya melihat wajahmu dengan berbagai macam ekspresi.
“Rain ! kau datang ke sini lagi,” suara itu. Satu hal yang tidak kusuka dari rumah Nick adalah adik perempuannya. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi dia memang sepertinya suka padaku. Dan ia sering sekali mengurangi waktuku untuk menatapmu.
“Menjauh dariku, Tania,” kuharap ia menurut dengan permintaanku yang kuusahakan tidak terdengar kasar. Tapi ia tetap tidak menjauh dan terus berusaha menempel padaku. Menyebalkan sekali.
______________________________________________________________________________
Aku baru saja ingin meregangkan syaraf otakku yang menegang akibat soal-soal matematika dengan cara melihatmu. Tapi kau yang ada di seberang sana malah membuat otakku semakin menegang ditambah otot wajahku yang berkontraksi ke bawah. Hei, siapa gadis di sebelahmu? Dia terlihat agresif sekali. Aku tidak suka melihatnya. Dan kulihat kau juga tidak suka dengannya. Kau berusaha melepaskan tangannya yang mengait di lenganmu. Senyummu juga terlalu terlihat dibuat-buat. Aku tahu kau sangat kesal karena kulihat alismu mengkerut begitu dalam.
Kau tidak bisa melepaskan tangannya darimu. Jadi kau berdiri dan... Sepertinya kau pamit untuk pulang? Demi apa pun, aku mengutuk perempuan itu. Gara-gara dia kau pulang lebih cepat. Aku belum puas melihatmu. Dan malam ini, terpaksa aku membuang sampah lebih cepat dari biasanya. Lalu seperti biasanya pula, kau selalu menemukanku yang baru saja (dengan sengaja) membuang sampah. Kau tersenyum manis padaku, seperti biasanya. Tapi malam ini tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu. Meski begitu, tetap saja senyummu sudah membuatku hampir mati di tempat.
******
Malam ini bulan sudah berubah fase dan hanya terlihat setengah bagiannya saja. Tak terlihat satu pun bintang karena kurasa malam ini mendung. Seperti biasa, sekitar jam tujuh malam kau datang ke rumah tetanggaku. Entah karena tugas atau apa, tapi sepertinya kau memang senang datang ke sana. Tak apalah, yang penting malam ini aku bisa kembali melihat wajahmu. Oh, ya. Aku sudah tahu beberapa tentangmu karena aku mencoba menyelidikinya. Jangan Tanya aku dapat informasi darimana, karena itu rahasia. Satu hal yang harus kau tahu, jika seseorang telah jatuh cinta, ia akan berpikir lebih cerdik dari apa pun hanya demi dirimu.
Namamu Rain. Nama yang bagus karena aku suka hujan, sama dengan namamu. Umurmu dua puluh, tiga tahun lebih tua dariku. It’s oke. Kau suka cappuccino, sama denganku. Kau suka menonton film komedi. Matamu coklat muda (finally, I knew it). Dan kau salah satu mahasiswa teladan dengan penampilan yang keren. Aku jadi lebih menyukaimu setelah mengetahui fakta itu. Lebih tepatnya, mengagumimu.
Sudah cukup pengenalanmu. Aku ingin melihat wajahmu dari balik buku yang aku juga tidak tahu judulnya. Buku itu tadinya tergeletak di atas meja ruang tamu dan aku mengambilnya hanya untuk sebuah alibi.
______________________________________________________________________________
Malam ini kulihat kau membaca buku yang entah apa judulnya. Aku tidak bisa membacanya dari sini karena jika ingin membaca tulisan itu aku harus memicingkan mata dan itu akan membuatmu tahu kalau aku diam-diam memperhatikan. Sayangnya, buku itu menutupi wajahmu yang cantik. Kau aneh. Membaca buku tidak perlu sampai menutupi seluruh wajahmu, kan. Tapi keunikanmu itu yang membuatku semakin tertarik. Dan jika aku boleh berharap, kau sebenarnya menjadikan buku itu sebagai alasan untuk melihatku diam-diam. Rasanya aku bodoh sekali jika memikirkan hal itu hingga membuat wajahku sedikit merona.
“Namanya Ellen,” Nick bicara sembari memberiku teh hangat.
“Nama yang bagus. Dapat informasi yang lain?”
“Ya,” jawabnya sembari duduk di depanku. “Kau berhutang banyak padaku, Rain,” ia memperingati.
“Tenang saja. Aku bakal membalas kebaikanmu itu,” aku memberi cengiran lebar.
“Jadi pacar adikku?” kurasa ia ingin menggodaku.
“you wish!!” aku berseru padanya, tidak ingin membayangkan hal itu. Ia tertawa renyah, sepertinya senang sekali dengan reaksiku. “Kau tahu aku tidak suka padanya, Nick. Jangan main-main. Oke, jadi informasi apa saja yang kau dapatkan?”
Maaf kalau aku sembarangan. Aku sebenarnya meminta Nick untuk menyelidikimu. Dan banyak hal yang kuketahui tentangmu darinya. Namamu Ellen, seperti yang ia katakan tadi. Umurmu tujuh belas dan sekarang duduk di kelas tiga SMA. Kau suka hujan, maybe I’m lucky have name Rain though I don’t really like rainy day. Kau pergi ke toko buku setiap hari Sabtu. Sepertinya benar jika aku bilang kau kutu buku. Kau salah satu anak pintar di sekolah. Aku jadi kagum padamu. Kau punya adik laki-laki yang empat tahun di bawahmu. Untuk saat ini sepertinya baru itu yang diketahui Nick.
______________________________________________________________________________
Sudah berbentuk sabit. Tapi jendela di depan kamarku tertutup gorden coklat muda mendekati krem. Gelap, lampunya tidak menyala. Akhir-akhir ini memang seperti itu. Sepertinya kau tidak datang lagi ke rumah semi permanen yang indah itu. Entah karena bosan atau ada hal lain. Tapi kau tidak tahu seberapa rindunya aku dengan senyummu itu. Betapa rindunya aku dengan kebiasaanmu menjilat bibir setelah minum. Betapa rindunya aku dengan tawamu. Aku hampir gila karena tidak melihat sosokmu.
Dan aku benar-benar sudah gila. Entah sejak kapan kakiku melangkah melewati pagar kayu bercat putih rumah itu dan menggoyangkan bel kuno bangsa Eropa dulu yang tergantung di depannya. Temanmu yang selalu menemanimu membukakan pintu dan kulihat ekspresi terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba. Aku sama sekali tidak bisa bicara. Lidahku kelu. Entah apa yang kupikirkan jadi aku bisa datang ke tempat itu. Padahal tak ada yang bisa kuucapkan padanya. Tapi aku benar-benar merindukanmu.
“Ellen, kan? Ada apa?” temanmu mulai bicara karena mungkin mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan itu.
“Ng, anu….,” aku benar-benar tidak bisa bicara.
“Rain?” satu kata berisi namamu itu membuatku terkejut. Kurasa temanmu ini ahli membaca pikiran orang. Tapi aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menunduk, membuat kacamatku sedikit turun.
“Kalau kau mencari dia, mungkin waktunya kurang tepat. Kau tahu? Dia kecelakaan dan harus rawat inap beberapa hari di rumah sakit.”
“Apa?!” informasi itu benar-benar membuatku shock. Pantas saja kau tidak datang beberapa hari terakhir ini. “Ng, apa bisa kau antar aku ke sana?” dengan ragu-ragu aku bertanya padanya. Aku sudah melupakan rasa maluku karena kerinduanku padamu.
______________________________________________________________________________
Rumah sakit ini benar-benar membuatku bosan. Aku hampir mati karena tidak melihatmu selama beberapa hari terakhir. Aku merindukanmu. Tapi malam ini aku benar-benar terkejut. Saat aku sedang membaca majalah, sosokmu tiba-tiba muncul dari balik pintu ruanganku. Melihatmu tiba-tiba membuat kakiku yang tergantung dengan balutan gips melupakan rasa sakitnya.
Kupikir aku hanya berhalusinasi, tapi kurasa tidak karena Nick yang ada di belakangmu tersenyum penuh arti padaku. Dan aku semakin yakin itu nyata saat kau berjalan perlahan mendekatiku. Rambut gelombangmu sedikit berantakan. Sepertinya kau tidak sempat berdandan. Dan wajahmu sangat menampakan kekhawatiran. Apa karena aku? Hei, aku boleh berharap, kan?
_____________________________________________________________________________
Aku sungguh terkejut saat melihat gadis yang selama ini menjadi perhatian Rain, sahabatku, berdiri di depan pintu saat itu. Aku tidak tahu tujuannya, tapi kulihat kecemasan di wajahnya. Saat kusebut nama Rain, ekspresinya mengencang. Kurasa memang Rain tujuannya selama ini ia membuka gorden jendelanya saat belajar karena selama ini aku tidak pernah melihatnya membuka gorden jendela kamarnya malam-malam.
Dan aku semakin yakin ia jatuh cinta pada Rain setelah melihat dia sekarang ini. Mereka berdua sama-sama diam tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Rain tersenyum padanya dan membuatnya tertunduk dalam. Yah, aku tahu mereka sama-sama saling suka. Kau akan tahu bagaimana seseorang jatuh cinta saat menyaksikan seberapa terlihat bodohnya mereka yang kehilangan kata-kata di depan orang yang mereka cintai tapi mata mereka berbinar begitu cerah. Dan aku melihat semua itu dari sosok mereka yang ada di depanku saat ini. Aku hanya bisa tersenyum, ikut senang atas kebahagiaan sahabatku itu. Dunia seakan milik mereka berdua, sedang aku hanyalah nyamuk yang numpang lewat saja di sana.
________________________END___________________

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Distributed By Blogger Template